DI dunia ini ada berbagai macam fenomena yang mungkin tidak dapat
dimengerti secara pasti seluruhnya, namun dapat ditangkap polanya.
Kompleksitas adalah sebuah perspektif untuk melihat sistem natural
sebagai sebuah sistem kompleks. Adalah Bandung Fe Institute (BFI),
sebuah organisasi yang boleh jadi satu-satunya di Indonesia yang
menaruh perhatian besar pada penelitian berdasarkan kompleksitas di
Indonesia. BFI menggunakan pendekatan complexity sciences untuk melihat
sebuah sistem sosial.
Rolan Mauludy Dahlan adalah salah satu
peneliti dari Bandung Fe Institute (BFI), yang berkantor di kawasan
Cipedes, Bandung. Menarik mendengar penjelasannya bahwa fenomena
sosial, bukan tak mungkin didekati dengan penghitungan polanya. Tak
cuma itu, BFI yang berdiri sejak tahun 2002 pun turut merespons ekonomi
kreatif yang kini menjadi tren global. BFI mendirikan Indonesian
Archipelago Culture Institute (AICI), yang memiliki sejumlah program
impresif demi pelestarian seni budaya Indonesia dan pengembangan
ekonomi kreatif, di antaranya, upaya memetika (sebuah model pemrosesan
data) Indonesia hingga perpustakaan digital.
Rolan menjadi
peneliti di BFI sejak tahun 2004 setelah proposalnya yang mengupas
tentang studi ekonomi sebagai sistem kompleks, diterima oleh jajaran
Board of Advisors di mana salah satu di antaranya ialah Prof. Yohannes
Surya yang banyak berkiprah di dunia fisika. Lulusan Teknik Industri
ITB angkatan 2000 ini kini bertugas pada Departement Evolutionary
Economics BFI dan menjabat sebagai Ketua Jaringan Budaya
Indonesia/AICI. Berikut obrolan Kampus dengan lelaki kelahiran 2
Desember 1980 ini tentang upaya-upaya BFI dan AICI dalam mendukung
ekonomi kreatif, Senin (31/3).
Bisa cerita latar belakang berdirinya BFI dan apa yang dimaksud dengan kompleksitas dalam sistem sosial?
Ada
teori chaos yang menekankan konsekuensi antara order (keteraturan) dan
disorder (ketidakteraturan). Hipotesisnya adalah kehidupan ada di tepi
chaos itu. Manusia tidak dapat menangkap segala sesuatu dengan pasti,
tapi manusia bisa menangkap pola dari sistem tersebut.
Contohnya
suara sirine. Sebab bunyinya teratur, awalnya mungkin terdengar enak,
tapi lama-lama bisa juga menjadi menganggu. Sebaliknya, orang yang
tidak bisa main piano, lalu disuruh main piano. Bisa jadi terdengar
kacau, karena berangkat dari ketidakteraturan. Itu artinya bahwa
keindahan musik atau secara keseluruhan kehidupan ini terletak antara
keteraturan dan ketidakteraturan. Dan kami ingin mengakuisisi
perspektif tersebut dalam sistem sosial.
Mulai dari situ, kami
mulai banyak melakukan penelitian. Buku sudah 2 buah yang terbit, dan
tulisan di berbagai jurnal internasional. Belakangan para peneliti
sadar, tren global kini menuju pada ekonomi kreatif, dan kami pikir
keragaman budaya Indonesia adalah bahan bakar dari kreativitas. Makanya
kami membangun AICI akhir tahun 2007. Di dalam AICI ada 3 divisi yaitu,
Jaringan Budaya Indonesia, Perhimpunan Budaya Indonesia, dan Satuan
Ekonomi Kreatif. Divisi-divisi ini membuat perpustakaan digital, dan
membuat model-model pengembangan ekonomi kreatif.
Apa yang difokuskan dalam kajian pengembangan ekonomi kreatif?
Tantangannya
bukan lagi bagaimana membuat teknologi produksi, tapi bagaimana
mendominasi teknologi produksi tersebut. Kini, yang membuat handphone
ialah banyak negara, dari Amerika, Jepang, hingga Indonesia juga jika
dipaksa. Jadi masalahnya, bukan lagi bagaimana menguasai teknologi,
tapi bagaimana mengisi content teknologi tersebut.
Ada 2 faktor
yang mempengaruhi iklim ekonomi kreatif, yakni, disparitas produk dan
disparitas pasar. Misalnya, batik punya satu pasar, tapi kalau motif
batik diragamkan, maka memiliki pasar yang lebih beragam. Indonesia
memiliki keragaman budaya yang mengakibatkan disparitas pasarnya
tinggi, namun sayangnya tidak diiringi disparitas produknya. Sebab
orientasi kita lebih pada pariwisata, daripada produksi.
Tantangan
berikutnya ialah melindungi sumber daya kreativitas. Kita semua harus
melindungi kekayaan kita agar tidak dicolong orang. Dari situ, kita
tingkatkan disparitas produknya. Coba lihat Apple, mereka tidak hanya
menjual komputer Apple dan perangkatnya, tapi juga menjual merchandise,
foto, dsb. Nah, Indonesia lemahnya di situ. Selain kekayaan sumber
budayanya dicuri, selain itu disparitas produknya rendah.
Solusinya?
Perlu
perlindungan hukum, mempelajari Indonesia baru, dan terus berinovasi.
Tapi 3 faktor itu baru bisa berjalan baik, jika ada basis data kuat.
Nah, sayangnya 64 tahun berdiri Indonesia belum punya basis data yang
kuat. Akhirnya terjadilah seperti peristiwa seorang ibu asal Bali.
Jadi, ia mengekspor kerajinan perak ke Amerika, ternyata perusahaan
pengantar itu bergerak pada bidang kerajinan juga, lalu ia mendaftarkan
HAKI-nya. Tahun berikutnya ketika sang ibu mengekspor lagi, ia terkena
tindakan hukum. Jadi, kita harus punya perangkat hukum, namun yang
terpenting ialah basis data yang kuat. BFI banyak menyuplai riset untuk
AICI. Kini, AICI masih membangun pengumpulan data dengan perpustakaan
digital. Kalau pakai metode konvensional untuk menghitung jutaan
artefak di Indonesia akan sulit. Dalam hal motif, kami memprediksi ada
lebih dari 1 juta motif di Indonesia. Jika pengumpulan data dilakukan
secara mendatangi satu-satu, kayaknya mustahil, makanya kita bangun
perpustakaan digital.
Berapa data yang kini terkumpul dalam perpustakaan digital?
Kami launching situs www.budaya-indonesia.org
sejak September 2008, kini data yang terkumpul sekitar 5.500 data, dari
mulai tarian, lagu, motif, rumah adat, dsb. Kami terus membangun
jaringan sehingga orang semakin tahu situs ini. Kami menggabungkan
partisipasi publik dengan teknologi Web 2.0. Jadi, bagaimana membuat
teknologi yang memungkinkan publik untuk berpartisipasi, seperti
Wikipedia. Setiap kontributor hanya akan mendapat pencantuman nama,
namun gunanya banyak, ini sebagai penelitian dan perlindungan hukum.
Bisa cerita pemrosesan data setelah terkumpul?
Setelah
terkumpul, kami ekstrak datanya dengan memanfaatkan metode dari
biologi. Dalam biologi, ada unit terkecil bernama gen. Jadi sebenarnya
di sistem sosial, terkandung gen bernama meme atau inti. Makanya projek
ini dinamakan proses memetika. Misalnya, dalam sebuah lagu, meme-nya
itu apa. Dari lagu itu, kita menyusun meme-nya menjadi sebuah model.
Pemetaan itu memakai sistem komputasi hasil dari perancangan software.
Sampai sekarang baru ada 4 hal dalam upaya memetika yang kami lakukan,
yaitu, motif, lagu, bahasa, rumah. Yang belum, misalnya tari. Karena
mediumnya bergerak dari video, jadi memang masih agak sulit. Dari
pemodelan itu, kita cari bentuk Indonesia baru seperti apa. Paling
tidak dari sini ada bahan masukan, kalau mau masuk ke daerah A, maka
lagu yang pas adalah yang seperti A, misalnya.
Bagaimana dengan perlindungan hukum?
Ini
memang belum memiliki kekuatan hukum, ini lebih pada hukum publikasi.
Selama ini dikenal 3 konsep perlindungan hukum, yakni HAKI konvensional
yang dimiliki individu oleh perusahaan. Namun ini lemah, karena biaya
tinggi dan artefak Indonesia kadang belum jelas penemu pertamanya.
Sedangkan yang kedua, ada GPL (genuine public license), kita dapat
pengakuan, tapi tidak ada keuntungan ekonomi. Nah, ketiga, yang
sekarang sedang dibahas yaitu World Intelectual Property Organization
(WIPO). Ini di bawah PBB yang mengurus hak intelektual, khususnya di
komunitas setempat. Tapi justru menurut kajian kami, yang ketiga ini
paling potensial konflik, karena cenderung menghasilkan eksklusifisme
antar daerah yang mengancam disintegrasi bangsa. Makanya, kami sedang
berjuang konsep baru yaitu Nusantara Culture State License (NCSL),
yakni penggabungan 3 metode sebelumnya. Targetnya, NCSL ini bisa
diterapkan nasional dan juga internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar