Jumat, 02 November 2012

Mengawinkan potensi kreatif dan kecanggihan teknologi

DI dunia ini ada berbagai macam fenomena yang mungkin tidak dapat dimengerti secara pasti seluruhnya, namun dapat ditangkap polanya. Kompleksitas adalah sebuah perspektif untuk melihat sistem natural sebagai sebuah sistem kompleks. Adalah Bandung Fe Institute (BFI), sebuah organisasi yang boleh jadi satu-satunya di Indonesia yang menaruh perhatian besar pada penelitian berdasarkan kompleksitas di Indonesia. BFI menggunakan pendekatan complexity sciences untuk melihat sebuah sistem sosial.

Rolan Mauludy Dahlan adalah salah satu peneliti dari Bandung Fe Institute (BFI), yang berkantor di kawasan Cipedes, Bandung. Menarik mendengar penjelasannya bahwa fenomena sosial, bukan tak mungkin didekati dengan penghitungan polanya. Tak cuma itu, BFI yang berdiri sejak tahun 2002 pun turut merespons ekonomi kreatif yang kini menjadi tren global. BFI mendirikan Indonesian Archipelago Culture Institute (AICI), yang memiliki sejumlah program impresif demi pelestarian seni budaya Indonesia dan pengembangan ekonomi kreatif, di antaranya, upaya memetika (sebuah model pemrosesan data) Indonesia hingga perpustakaan digital.

Rolan menjadi peneliti di BFI sejak tahun 2004 setelah proposalnya yang mengupas tentang studi ekonomi sebagai sistem kompleks, diterima oleh jajaran Board of Advisors di mana salah satu di antaranya ialah Prof. Yohannes Surya yang banyak berkiprah di dunia fisika. Lulusan Teknik Industri ITB angkatan 2000 ini kini bertugas pada Departement Evolutionary Economics BFI dan menjabat sebagai Ketua Jaringan Budaya Indonesia/AICI. Berikut obrolan Kampus dengan lelaki kelahiran 2 Desember 1980 ini tentang upaya-upaya BFI dan AICI dalam mendukung ekonomi kreatif, Senin (31/3).

Bisa cerita latar belakang berdirinya BFI dan apa yang dimaksud dengan kompleksitas dalam sistem sosial?

Ada teori chaos yang menekankan konsekuensi antara order (keteraturan) dan disorder (ketidakteraturan). Hipotesisnya adalah kehidupan ada di tepi chaos itu. Manusia tidak dapat menangkap segala sesuatu dengan pasti, tapi manusia bisa menangkap pola dari sistem tersebut.

Contohnya suara sirine. Sebab bunyinya teratur, awalnya mungkin terdengar enak, tapi lama-lama bisa juga menjadi menganggu. Sebaliknya, orang yang tidak bisa main piano, lalu disuruh main piano. Bisa jadi terdengar kacau, karena berangkat dari ketidakteraturan. Itu artinya bahwa keindahan musik atau secara keseluruhan kehidupan ini terletak antara keteraturan dan ketidakteraturan. Dan kami ingin mengakuisisi perspektif tersebut dalam sistem sosial.

Mulai dari situ, kami mulai banyak melakukan penelitian. Buku sudah 2 buah yang terbit, dan tulisan di berbagai jurnal internasional. Belakangan para peneliti sadar, tren global kini menuju pada ekonomi kreatif, dan kami pikir keragaman budaya Indonesia adalah bahan bakar dari kreativitas. Makanya kami membangun AICI akhir tahun 2007. Di dalam AICI ada 3 divisi yaitu, Jaringan Budaya Indonesia, Perhimpunan Budaya Indonesia, dan Satuan Ekonomi Kreatif. Divisi-divisi ini membuat perpustakaan digital, dan membuat model-model pengembangan ekonomi kreatif.

Apa yang difokuskan dalam kajian pengembangan ekonomi kreatif?

Tantangannya bukan lagi bagaimana membuat teknologi produksi, tapi bagaimana mendominasi teknologi produksi tersebut. Kini, yang membuat handphone ialah banyak negara, dari Amerika, Jepang, hingga Indonesia juga jika dipaksa. Jadi masalahnya, bukan lagi bagaimana menguasai teknologi, tapi bagaimana mengisi content teknologi tersebut.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi iklim ekonomi kreatif, yakni, disparitas produk dan disparitas pasar. Misalnya, batik punya satu pasar, tapi kalau motif batik diragamkan, maka memiliki pasar yang lebih beragam. Indonesia memiliki keragaman budaya yang mengakibatkan disparitas pasarnya tinggi, namun sayangnya tidak diiringi disparitas produknya. Sebab orientasi kita lebih pada pariwisata, daripada produksi.

Tantangan berikutnya ialah melindungi sumber daya kreativitas. Kita semua harus melindungi kekayaan kita agar tidak dicolong orang. Dari situ, kita tingkatkan disparitas produknya. Coba lihat Apple, mereka tidak hanya menjual komputer Apple dan perangkatnya, tapi juga menjual merchandise, foto, dsb. Nah, Indonesia lemahnya di situ. Selain kekayaan sumber budayanya dicuri, selain itu disparitas produknya rendah.

Solusinya?

Perlu perlindungan hukum, mempelajari Indonesia baru, dan terus berinovasi. Tapi 3 faktor itu baru bisa berjalan baik, jika ada basis data kuat. Nah, sayangnya 64 tahun berdiri Indonesia belum punya basis data yang kuat. Akhirnya terjadilah seperti peristiwa seorang ibu asal Bali. Jadi, ia mengekspor kerajinan perak ke Amerika, ternyata perusahaan pengantar itu bergerak pada bidang kerajinan juga, lalu ia mendaftarkan HAKI-nya. Tahun berikutnya ketika sang ibu mengekspor lagi, ia terkena tindakan hukum. Jadi, kita harus punya perangkat hukum, namun yang terpenting ialah basis data yang kuat. BFI banyak menyuplai riset untuk AICI. Kini, AICI masih membangun pengumpulan data dengan perpustakaan digital. Kalau pakai metode konvensional untuk menghitung jutaan artefak di Indonesia akan sulit. Dalam hal motif, kami memprediksi ada lebih dari 1 juta motif di Indonesia. Jika pengumpulan data dilakukan secara mendatangi satu-satu, kayaknya mustahil, makanya kita bangun perpustakaan digital.

Berapa data yang kini terkumpul dalam perpustakaan digital?

Kami launching situs www.budaya-indonesia.org sejak September 2008, kini data yang terkumpul sekitar 5.500 data, dari mulai tarian, lagu, motif, rumah adat, dsb. Kami terus membangun jaringan sehingga orang semakin tahu situs ini. Kami menggabungkan partisipasi publik dengan teknologi Web 2.0. Jadi, bagaimana membuat teknologi yang memungkinkan publik untuk berpartisipasi, seperti Wikipedia. Setiap kontributor hanya akan mendapat pencantuman nama, namun gunanya banyak, ini sebagai penelitian dan perlindungan hukum.

Bisa cerita pemrosesan data setelah terkumpul?

Setelah terkumpul, kami ekstrak datanya dengan memanfaatkan metode dari biologi. Dalam biologi, ada unit terkecil bernama gen. Jadi sebenarnya di sistem sosial, terkandung gen bernama meme atau inti. Makanya projek ini dinamakan proses memetika. Misalnya, dalam sebuah lagu, meme-nya itu apa. Dari lagu itu, kita menyusun meme-nya menjadi sebuah model. Pemetaan itu memakai sistem komputasi hasil dari perancangan software. Sampai sekarang baru ada 4 hal dalam upaya memetika yang kami lakukan, yaitu, motif, lagu, bahasa, rumah. Yang belum, misalnya tari. Karena mediumnya bergerak dari video, jadi memang masih agak sulit. Dari pemodelan itu, kita cari bentuk Indonesia baru seperti apa. Paling tidak dari sini ada bahan masukan, kalau mau masuk ke daerah A, maka lagu yang pas adalah yang seperti A, misalnya.

Bagaimana dengan perlindungan hukum?

Ini memang belum memiliki kekuatan hukum, ini lebih pada hukum publikasi. Selama ini dikenal 3 konsep perlindungan hukum, yakni HAKI konvensional yang dimiliki individu oleh perusahaan. Namun ini lemah, karena biaya tinggi dan artefak Indonesia kadang belum jelas penemu pertamanya. Sedangkan yang kedua, ada GPL (genuine public license), kita dapat pengakuan, tapi tidak ada keuntungan ekonomi. Nah, ketiga, yang sekarang sedang dibahas yaitu World Intelectual Property Organization (WIPO). Ini di bawah PBB yang mengurus hak intelektual, khususnya di komunitas setempat. Tapi justru menurut kajian kami, yang ketiga ini paling potensial konflik, karena cenderung menghasilkan eksklusifisme antar daerah yang mengancam disintegrasi bangsa. Makanya, kami sedang berjuang konsep baru yaitu Nusantara Culture State License (NCSL), yakni penggabungan 3 metode sebelumnya. Targetnya, NCSL ini bisa diterapkan nasional dan juga internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar